![]() |
Oleh: Harianto, S.Sos., (Ketua Divisi Perencanaan, Data dan Informasi KPU Kabupaten Luwu). Sabtu, (20/9/2025) |
Wargata.com. Luwu -- Pemilih dan Hak Demokrasi. Pemilu dan Pilkada bukanlah sekadar agenda lima tahunan sebagaimana diatur dalam konstitusi, melainkan fondasi demokrasi yang meneguhkan suara rakyat sebagai penentu arah kebijakan nasional dan daerah. Namun, kualitas demokrasi sangat bergantung pada satu hal mendasar: akurasi daftar pemilih. Tanpa data pemilih yang valid, hak konstitusional warga bisa terabaikan, bahkan legitimasi hasil pemilu bisa dipertanyakan. Daftar pemilih bukan sekadar kumpulan angka-angka, tetapi identitas politik warga negara. Jika data ini salah, maka bukan hanya administrasi yang bermasalah, melainkan legitimasi hasil pemilu yang jadi taruhannya.
Di Kabupaten Luwu, KPU menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Pilkada 2024 sebanyak 270.044 orang, terdiri atas 134.368 orang laki-laki dan 135.676 orang perempuan. Angka ini tersebar di 22 kecamatan, 227 desa/kelurahan, dan 691 TPS. Secara kuantitatif, data ini menunjukkan tingginya partisipasi penduduk yang berhak memilih (sekira 70% dari total populasi penduduk Luwu). Namun secara kualitatif, daftar pemilih masih menyimpan sejumlah persoalan.
Pemilih Tak Dikenal: memiliki Adminduk, Tak ditemui di Lapangan
Salah satu fenomena yang kami temukan saat kegiatan pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih Pilkada tahun 2024 oleh KPU Luwu adalah adanya istilah “pemilih tak dikenal”. Jumlahnya mencapai 145 orang yang tersebar di beberapa kecamatan dan desa. Mereka tercatat secara administratif sebagai penduduk Luwu, tetapi keberadaannya tidak dapat diidentifikasi oleh aparat pemerintah desa/kelurahan maupun masyarakat setempat. Sebagai penyelenggara pemilu, tentu hal ini menimbulkan dilema: Nama mereka ada dalam dokumen resmi, tapi keberadaan faktualnya nihil.
Situasi ini menegaskan bahwa pemutakhiran data pemilih bukan hanya kerja-kerja teknis jajaran KPU, melainkan juga berkaitan erat dengan kesadaran kolektif warga. Menurut Samuel P. Huntington, ilmuwan politik Amerika, partisipasi politik adalah bentuk nyata keterlibatan warga dalam sistem politik, baik langsung maupun tidak langsung. Jika masyarakat abai melaporkan status kependudukan, maka partisipasi mereka dalam menjaga integritas pemilu justru gagal terwujud sejak awal.
Pemilih Meninggal: De Facto dan atau De Jure
Tantangan lain yang tidak kalah pelik adalah adanya pemilih yang secara de facto (fakta) telah meninggal dunia, tetapi secara de jure (administrasi) masih tercatat sebagai penduduk aktif. Hal ini terjadi karena keluarga tidak atau belum mengurus surat keterangan kematian, yang dapat menjadi bukti hukum agar nama tersebut dapat dicoret dari daftar pemilih dengan status Tidak Memenuhi Syarat (TMS).
Ketiadaan dokumen ini membuat kami di KPU berada dalam posisi dilematis. Secara moral dan faktual, nama orang yang telah meninggal seharusnya dihapus. Namun secara hukum, KPU membutuhkan bukti administratif agar pencoretan tidak menyalahi aturan. Dalam perspektif ahli sosiologi hukum Prof. Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya tidak hanya dipandang sebagai teks normatif, tetapi juga sebagai instrumen sosial yang harus adaptif dengan kenyataan. Kasus pemilih meninggal tanpa akta kematian adalah contoh nyata ketegangan antara “hukum tertulis dan aturan formal” dengan “realitas sosial”.
Partisipasi Warga Jadi Kunci
Kedua fenomena ini -- pemilih tak dikenal dan pemilih meninggal tanpa dokumen– sesungguhnya menggarisbawahi satu hal yang sama: perlunya partisipasi aktif masyarakat dalam pemutakhiran data pemilih. KPU tidak bisa bekerja sendirian. Kesadaran masyarakat menjadi salah satu faktor kunci. Aparat desa/kelurahan/RT/RW, keluarga, bahkan individu warga perlu terlibat aktif melaporkan setiap perubahan status kependudukan, baik pindah domisili maupun kematian warga, termasuk yang telah pensiun dari TNI/Polri atau diterima sebagai prajurit TNI/anggota Polri.
Partisipasi sederhana tersebut adalah merupakan wujud nyata kepedulian terhadap demokrasi. Inilah bentuk partisipasi politik yang sering dilupakan. Penelitian demokrasi menyebutkan, keterlibatan warga dalam tahap pra-pemilu dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap hasil pemilu sekaligus meminimalkan potensi sengketa proses dan hasil pemilu atau pilkada.
Menurut teori civil society yang dikemukakan Larry Diamond, seorang akademisi terkemuka Amerika yang dikenal karena kontribusinya yang signifikan terhadap studi demokrasi, bahwa kualitas demokrasi tidak hanya ditentukan oleh lembaga negara, tetapi juga oleh kesadaran warga dalam mengawasi dan berkontribusi terhadap jalannya proses politik. Di sinilah warga negara khususnya masyarakat Kabupaten Luwu ditantang: apakah mau menjadi penonton, atau ikut aktif menjaga agar setiap suara pemilih benar-benar sahih?
Menutup Celah, Menguatkan Demokrasi
Masalah pemilih tak dikenal dan pemilih meninggal tanpa dokumen bukan sekadar persoalan administratif, melainkan menyangkut kualitas legitimasi demokrasi. Jika daftar pemilih tidak akurat, maka hasil pemilu pun rentan dipertanyakan. Karena itu, kesadaran masyarakat untuk aktif melaporkan perubahan data diri adalah kontribusi nyata dalam menjaga demokrasi bangsa.
Sebelum sibuk membicarakan siapa calonnya, apa visi-misinya, atau bagaimana strategi kampanye calon dan atau pasangan calon, mari kita mulai dari hal sederhana: cek nama ta’ dalam daftar pemilih melalui portal cekdptonline.kpu.go.id, pastikan ada dan datanya benar, dan laporkan jika ada perubahan melalui tautan. https://bit.ly/ LaporDataPemilih_KPU_LUWU
Karena itu kami di KPU selalu menekankan bahwa pemutakhiran data pemilih bukan hanya program kerja KPU, tetapi tanggung jawab bersama. Demokrasi yang sehat tidak lahir dari kertas suara semata yang digunakan oleh warga negara untuk memilih wakilnya di lembaga Eksekutif dan Legislatif, melainkan dari keseriusan seluruh elemen masyarakat menjaga agar setiap suara benar-benar berasal dari warga yang sah, nyata, dan hidup di tengah-tengah kita. (@wi)