Wargata.com, Luwu Utara -- Berdasarkan hasil survei Rikolto, sebuah NGO internasional yang bekerja untuk menciptakan sistem pangan berkelanjutan, disebutkan bahwa petani kakao di Kabupaten Luwu Utara memiliki living income atau pendapatan ideal untuk hidup layak di Indonesia.
Hal ini terungkap pada Pertemuan Tahunan Mitra Program Kakao dan Kopi yang dilaksanakan Rikolto di 9 wilayah kerja, yaitu Ende, Luwu Timur, Luwu Utara dan Polman untuk petani Kakao, serta Enrekang, Kerinci, Manggarai Timur, Ngada, dan Toraja Utara untuk petani Kopi.
Pertemuan Tahunan ini bertujuan untuk memperkuat kolaborasi dan sinergi dalam implementasi Program Kakao dan Kopi di 9 kabupaten/kota di wilayah kerja Rikolto Indonesia yang berlangsung pada 22 – 25 November 2025 di Swiss Bel Hotel, Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan.
Survei Rikolto mencatat, pendapatan bersih petani kakao di Luwu Utara mencapai Rp73.847.473. Sementara living income-nya sebesar Rp67.439.995, dengan gap di atas 10% atau dengan kata lain, pendapatan bersih petani kakao lebih besar 10% dari kebutuhan hidup idealnya.
Hal ini berarti bahwa petani Kakao di Kabupaten Luwu Utara lebih besar 10% pendapatannya dari pengeluarannya alias memiliki saving dalam satu tahun sebesar 10% dari pendapatannya. Living income ini meliputi makanan, rumah, non-makanan, plus kebutuhan yang tak terduga.
Dari 9 koperasi binaan Rikolto di 9 kabupaten/kota Indonesia dengan jumlah responden 869, yang terdiri dari petani kakao dan kopi, dengan rincian 512 laki-laki (59%) dan 357 perempuan (41%), menempatkan Luwu Utara sebagai daerah yang memiliki pendapatan petani kakao terbesar, yaitu Rp65.832.353, sementara pendapatan non-kakao Rp13.760.073 dengan total Rp73.847.473.
Hasil survei Rikolto ini mencatat bahwa Kabupaten Luwu Utara merupakan daerah kabupaten di Indonesia yang memiliki pendapatan terbesar dibanding sembilan kabupaten/kota yang memiliki koperasi yang mengelola kakao dan kopi di Indonesia di bawah binaan Rikolto.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Riset, dan Inovasi Daerah, Drs. Aspar, yang ikut dalam pertemuan tersebut mengatakan bahwa hasil survei khusus petani kakao yang membandingkan antara pendapatan bersih dan living income petani kakao, memperlihatkan hasil berbeda.
“Sebagai contoh Kabupaten Ende diperoleh hasil pendapatan bersih petani kakaonya sebesar Rp30.724.559, sementara living income atau kebutuhan hidup idealnya sebesar Rp62.093.339, dengan gap yang diciptakan minus 51%. Artinya kebutuhan hidup idealnya jauh lebih besar dari pendapatannya alias lebih besar pengeluaran dari pendapatan,” terang Aspar.
Dikatakan Aspar, jika dilihat dari distribusi pengeluaran rumah tangga, baik petani kakao maupun petani kopi, maka distribusi pengeluaran rumah tangga petani yang terbesar adalah pengeluaran makanan 50%, non-makanan plus rumah sebesar 33%, rumah 12% dan yang tidak terduga 5%.
“Dari pengeluaran biaya yang dikeluarkan petani kakao dan kopi untuk makan setiap tahunnya, hanya Luwu Utara dan Kerinci yang memiliki pola konsumsi yang mendekati pola konsumsi yang ideal sesuai anjuran. Di mana Luwu Utara telah mencapai 93% atau paling mendekati pola konsumsi yang ideal disusul Kerinci 92%,” beber Aspar.
Diketahui, metode living income (pendapatan layak) merupakan jumlah pendapatan bersih tahunan yang dibutuhkan oleh sebuah rumah tangga untuk menutupi biaya hidup yang layak di lokasi tertentu. Pendapatan di sini mencakup kebutuhan dasar, seperti makanan bergizi, air bersih, perumahan, pendidikan, perawatan kesehatan, pakaian, transportasi, serta tambahan untuk mengantisipasi kejadian tak terduga. (LHr/@wi)




